oleh

Melestarikan Aksara Jawa di Era Digital

Realita Lampung- Setya Amrih Prasaja hanya bisa menahan sedih. Sebagai pengajar Bahasa Jawa, ternyata tidak mudah membuat banyak anak didiknya antusias. Demam budaya Korea membuat para siswa justru lebih kepincut dibanding memahami aksara Jawa.

Harus disadari memang sulit mempelajari bentuk aksara Jawa. Sama perasaannya ketika melihat Hangul Korea. Bagi Amrih, semua bikin sakit mata. Tapi bukan berarti tidak bisa untuk dipelajari.

Keadaan semakin menjadi ironi. Tatkala mengetahui banyak siswa justru sering bertukar pesan via aplikasi WhatsApp memakai Hangul Korea. Guru di SMA 1 Sanden itu sempat merasa jika terus dibiarkan ilmu leluhur Jawa ini bisa punah. Tidak ada lagi penerusnya. Kamu muda justru lebih nyaman dan bangga menggunakan bahasa Korea maupun negara lain.

“Ejaan atau penulisan Korea yang ditulis para siswa juga amburadul. Tapi mereka bisa ketik itu dan bisa baca tulisan Korea di ponsel mereka. Inikan bikin ironi,” kata Setya Amrih Prasaja bercerita kepada merdeka.com, akhir pekan lalu.

Selalu saja ada alasan dari para siswa ketika kelas Bahasa Jawa digelar. Mereka merasa cara pembelajaran dibawa Amrih sulit dimengerti. Semua murid pun seakan satu suara. Menyebut bahwa Bahasa Jawa sangat susah.

Metode pembelajaran digunakan Amrih memang tidak biasa. Selayaknya guru bahasa lain, dia mengajak para siswa untuk aktif menggunakan bahasa Jawa. Bahkan aksara Jawa menjadi hidangan wajib untuk para anak didiknya.

“Anak didik saya itu ketika saya ajari aksara Jawa itu banyak yang protes. Pak, kok bahasa Jawa sekarang pakai aksara Jawa semua?” ujar dia menirukan keluhan para siswa.

Amrih bukan berarti mengajar tanpa inovasi. Sebagai pegawai yang bekerja di Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebenarnya telah menemukan cara jitu agar aksara Jawa tetap diminati anak zaman sekarang.

Sejak 2010, Amrih mulai melakukan digitalisasi aksara Jawa. Dia sadar bahwa kaum muda kini sudah sangat melek teknologi. Sehingga aksara Jawa kini bisa diaplikasikan di komputer maupun ponsel.

Aksara Jawa versi digital sebenarnya sudah ada sekitar tahun 2005. Hanya saja font dipakai kala itu masih tipe ANSI. Artinya masih menggunakan aksara latin. Sehingga ketika di copy paste ke browser akan kembali ke latin karena karakternya terbaca oleh browser adalah karakter font latin bukan Jawa.

“Karena Unicode aksara Jawa itu kan 2009 logikanya 1 tahun (2010) setelah diterima Unicode mungkin semua perangkat sudah ada yang mengaplikasikan hanya beberapa teman yang dari ranah IT yang kemudian geregetan ingin segera menggunakan aksara jawa di ranah digital.” jelasnya.

Awal mengaplikasikan aksara Jawa di komputer memang mengalami kendala. Pertama tidak semua perangkat browser internet bisa membaca font aksara Jawa. Tidak pantang menyerah, dia coba mengakali menggunakan OpenOffice Linux. Upaya tersebut berhasil.

digitalisasi aksara jawa

Kini digitalisasi aksara Jawa terus dipakai ketika mengajar maupun berkomunikasi dengan para siswa melalui ponsel pintar. Di awal kemunculan, tentu membuat banyak siswa terkaget-kaget. Tidak menyangka pelajaran yang dianggap kolot itu bisa masuk ke ranah digital.

Semakin berkembangnya teknologi, justru membuat Amrih merasa lebih mudah melestarikan aksara Jawa. Seperti dirasakan para teknologi Windows 10. Di sana sistem font dan keyboard aksara Jawa sudah diaplikasikan.

“Artinya aksara Jawa dan keyboard aksara Jawa sudah masuk di sistem mereka sehingga kita tinggal pakai saja sebenarnya nggak repot banget seperti zaman awal-awal dulu saya ngajar,” jelasnya.

Walau masih terdapat beberapa kendala, namun beberapa sekolah di Yogyakarta mulai memperhatikan pembelajaran aksara Jawa secara digital. Belakangan banyak SMA lain di sekitar Yogyakarta mulai ikut mempraktikan pembelajaran bahasa Jawa dengan aksara Jawa digital.

Aksara Jawa saat juga sudah bisa digunakan di aplikasi WhatsApp. Karena android sudah mengeluarkan Notosan Javanese. Hanya sayangnya di Notosan Javanese font aksara masih buntung. “Artinya depannya itu masih ilang separo kakinya tapi sudah lumayan untuk bisa dipakai.” kata Amrih.

Para siswa pun kini diminta membiasakan bertukar pesan menggunakan aksara Jawa. Harus disadari kebiasaan ini semakin membuat anak muda, khususnya di Yogyakarta, bangga dan nyaman menggunakan aksara Jawa berbincang melalui pesan elektronik.

“Meskipun pada tata tulis amburadul wajarlah karena masih pengenalan. Setidaknya yang tampil di chat mereka beraksara Jawa,” ujar dia.

digitalisasi aksara jawa

Kini Amrih bisa cukup berbangga. Berbagai usaha untuk melestarikan aksara Jawa bisa mulai diterima. Setidaknya dia tidak mengecewakan para leluhur Jawa yang di zaman dulu menulis aksara Jawa dengan cara dipahat di batu maupun kayu dan menjadi sebuah prasasti.

Teknologi terkini justru membuat semua serba mudah. Meski tugas diemban Amrih untuk melestarikan aksara Jawa masih perlu perjuangan. Setidaknya digitalisasi aksara Jawa merupakan sebuah harapan bahwa budaya nenek moyang bisa tetap lestari.

Sumber : Merdeka.com