oleh

Menjadi Jurnalis Tidak Cukup Bermodal Kartu Pers

Menjadi Jurnalis Tidak Cukup Bermodal Kartu Pers ( KTA ), Padahal Preman Berkedok dan Parahnya Mengaku Paling Pintar Dalam Segala Hal.

Tasikmalaya – JABAR (RL) : Profesional bagi jurnalis sebagaimana tercantum dalam setiap kode etik pers adalah akurasi, objektivitas, dan keseimbangan. Media cetak memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi sekaligus merubah pola pikir, sikap dan perilaku publik.

Karena itu media selain berfungsi menyiarkan informasi, media juga berfungsi mendidik, mengajak, dan menyajikan ruang ilmu pengetahuan bagi pembacanya. Bahkan, peranan media sebagai sarana komunikasi, sangat menentukan perubahan moral dan watak masyarakat.

Untuk itu, seorang jurnalis harus memiliki naluri yang kuat untuk memilih dan memastikan mana peristiwa yang layak diberitakan, mana pula yang tidak. Untuk memastikan layak tidaknya, maka news value (nilai berita).

Wartawan yang professional pada hakikatnya pekerja intelektual, hampir sama halnya dengan peneliti atau ilmuwan yang memulai pekerjaannya dari pemikiran kritis mengenai suatu fenomena dalam masyarakat, lalu mencari jawabannya melalui investigasi atau wawancara mendalam untuk kemudian diseleksi dan disebarkan bagi masyarakat.

Disinilah pentingnya profesionalisme wartawan dan kepatuhan pada kode etik jurnalistik, dan seiring dengan perkembangan teknologi dan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana pemahaman dan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik pada Jurnalis.

Indonesia berdasarkan kesadaran pengalaman dalam kegiatan jurnalistik sehari-hari di lapangan dan di ruang redaksi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui seberapa besar persentase jurnalis Indonesia yang memahami Kode Etik Jurnalistik dan seberapa besar jurnalis yang telah melakukan pelanggaran. Luaran penelitian adalah tingkat kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik sebagai sebuah prasyarat profesionalisme wartawan.

Hukum media secara umum adalah prinsip yang selalu ditekankan oleh media, pemilik media kepada seluruh karyawannya, termasuk pada awak media, para jurnalisnya.

Masalah hukum yang berkaitan dengan media, misalnya saja tentang Tata Aturan Hak dan Kewajiban seorang jurnalis, UU Kebebasan berekspresi, UU Pencemaran nama Baik,

Perizinan Media, UU Kepemilikan Media, UU Hak Cipta, dan lain sebagainya, selalu diinformasikan dan diingatkan serta disosialisasikan secara terus menerus, sehingga dalam prakteknya hukum media seolah berjalan lancar dan hampir tidak ada kendala maupun hambatannya.

Posisi sebuah etika menurut Tymieniecka (Arnett, 2014) sangatlah penting dan menjadi yang utama dalam pengembangan kreativitas manusia, bahkan dianggap lebih penting bila dibandingan dengan posisi kognisi (pengetahuan) maupun keyakinan.

Etika kemudian menjadi prinsip pengorganisasian dalam diri manusia untuk melakukan proses interaksi dengan manusia lainnya maupun dengan kehidupan.

Permasalahannya, pertumbuhan jumlah pers ini belum diimbangidengan kualitas. Sering muncul pengaduan ke Dewan Pers, betapa persdidirikan hanya karena motif politis dan ekonomis, tidak mempedulikan kepentingan idealis. Padahal, seharusnya kepentingan idealis menjadi ruhatau spirit bagi berjalannya bisnis pers. Sekarang di mana-mana muncul keluhan terhadap pers atau wartawan, karena wartawan dianggap tidak menghargai profesinya sendiri yang punya misi mulia.

Selalu mudah ditemukan pengakuan seseorang menjadi jurnalis hanya karena sudah melamar pekerjaan lain tetapi tidak diterima. Menjadi jurnalis dianggap cukup bermodal kartu pers, apalagi kartu pers gampang dibuat atau diperoleh, padahal preman berkedok, kesetiap dinas menjadi beking. (DP/Neng-Red)

Komentar

Realita Lampung