Kontestasi pemilihan kepala daerah Kabupaten Lampung Utara tinggal menunggu hitungan hari. Sayangnya agenda lima tahunan dalam mencari pimpinan terbaik nyatanya masih dihiasi narasi yang jauh dari masalah subtansial.
Gamblang tergambar di jagad media sosial misalnya. Pemilihan diksi salah satunya. Dirasa jauh seperti apa yang diharapkan masyarakat. Belum lagi tentang karakter kedua pasangan calon. Ada kecenderungan masing-masing kubu ingin saling menjatuhkan.
Ini belum termasuk ujaran-ujaran yang tak sepatutnya dipertontonkan. Ditambah lagi soal berbagai ‘bingkisan’ dari masing-masing kontesan. Keduanya nampak saling lempar argumen tentang cara-cara pembagiannya. Tentunya sesuai dengan hal-hal yang mereka yakini. Meskipun belum sepenuhnya berisikan fakta kebenaran.
Fenomena politik seperti diatas seolah menandakan bahwa indeks pertumbuhan demokrasi bangsa ini semakin tergerus. Semakin jauh dari nilai-nilai baik dalam politik itu sendiri. Bahkan terkesan jalan ditempat. Tak ada progres yang terasa signifikan.
Pada titik inilah dibutuhkan peran serta seluruh elemen untuk saling memberikan edukasi. Mulai dari para penyelenggara, media hingga lapisan masyarakat terbawah. Utamanya dalam upaya mengenalkan dan memahami esensi yang terkandung pada pendidikan politik itu sendiri.
Pemilihan kepala daerah sejatinya bukan hanya soal bagaimana mencari pemenang semata. Lebih dari pada itu. Pendidikan politik terhadap masyarakat jauh lebih penting. Karena inilah salah satu faktor yang akan membentuk karakter pemilh-pemilih cerdas di akar rumput.
Dengan harapan pesta demokrasi tak melulu soal minyak goreng, sarung, susu atau bingkisan lain yang kerap kali ditemui dalam setiap perhelatan politik.
Kalau demokrasi masih saja menyuguhkan tentang “bingkisan” tak seberapa itu. Niscaya upaya menuju pembelajaran politik akan sulit menemui muara baiknya. (**)
Komentar