Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil Penulis Lepas Yogyakarta
Suatu pagi yang penuh kesejukan, muncul pesan di jejaring sosial wa, balasan pesan dari kiriman form artikel sehari sebelumnya. Pengasuh sebuah media online, secara berurutan mengatakan: “terimakasih sudah mengirim form artikelnya pak”, “cuma maaf kami sampaikan sementara untuk artikel bertema politik, belum bisa kami tayangkan dulu 🙏”, “kalau artikel kegiatan komunitas, usaha/bisnis, atau bertema sosial, bisa kami prioritaskan utk ditayangkan. Terimakasih”,
Sebelumnya, ucapan syukur yang belum tersampaikan dalam dialog tersebut atas sedia pihak redaksi mengkonfirmasi kiriman penulis. Melihat respon pihak media dan bagi penulis adalah penghargaan, tidak lupa memberi respon dirasa setara, “Beresiko ya? Hahahaaa” ketus saya.
Mungkin terpancing, pihak media tersebut menjawab, “ya begitulah ada bbrp pertimbangan, dan topik media kami bukan dominan ke konten artikel politik”, “saat ini utk program kirim artikel bagi warga fokus konten umkm, organisasi/komunitas sosial,” jelasnya. “sip🙂” tutup penulis menimpali.
Ada apa dengan media? Jiwa serta semangat untuk menegakkan kebenaran dan objektivitas di tengah-tengah masyarakat, kini seolah berubah dan bergeser menjelma ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran. Penulis menangkap, tidak hanya sekedar pertimbangan berita yang “marketable” atau sekedar apa yang disampaikan di atas, pertimbangan “niche” atau topik ayang diusung media tersebut bukan. Bukan hanya itu saya kira, ada hal yang mungkin menyelimutinya.
Di mana spirit yang dulu dikenal dari media? Di mana itu hembusan demi hembusan objektivitas yang senantiasa diusung, di mana perjuangan atas nama objektivitas penuh pengorbanan, dan keberanian, di mana, di mana?!
Muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang ditakutkan oleh awak media sehingga menyortir dan menutup ruang kritik terhadap ranah politik dan mungkin kecuali sedikit, sedemikian rupa, apa ketakutan seperti apa yang membayangi mereka. Serupa drama, hal yang menakutkan terkadang muncul dari lingkungan atau kawanan yang punya kebiasaan menakut-nakuti. Semacan drama yang menakutkan.
Padahal kalau dirunut akar drama sesungguhnya ada pada media. Sebagai dunia di mana tempat berkecimpung, awak media tentu terbiasa dengan menyaksikan “headline” provokatif, atau narasi-narasi tendensius dan memihak. Lantas, jika sudah demikian, kemana publik menuntut, atau menunjuk pihak yang bertanggung jawab terhadap berbagai arus dan hiruk-pikuk berita jika tidak terhadap media.
Artikel ini tidak sedang menggali semangat objektif dan menumbuhkannya dalam diri setiap awak media. Bukan tidak penting, tetapi penulis melihat urgensi lain berupa kewaspadaan, serta kehati-hatian merupakan keterampilan yang dibutuhkan dalam mengasuh atau bergelut di dunia tersebut termasuk media massa.
Penulis hendak mengingatkan peran penting media dalam memihak kepada kebenaran yang jauh dari sekedar dibatasi oleh kepentingan politik terlebih cenderung pragmatis. Sehingga objektivitas, serta hal lain yang melekat dengan sebut saja industri ini secara bersamaan dapat diraih dengan begitu saja. (**)
Komentar