Petani Penggarap Lahan Kota Baru Laporkan Pemprov Lampung Ke Polisi

LAMPUNG SELATAN – Sengketa pengelolaan lahan di area calon kota baru di Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan sudah masuk ke ranah hukum. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung dilaporkan ke Polisi oleh petani penggarap dengan dugaan pengrusakan.

Laporan warga ini buntut dari upaya penertiban yang dilakukan aparat Pemprov Lampung terhadap petani yang masih menggarap lahan peruntukan kompleks kantor pemprov itu beberapa hari lalu. Pada Rabu (20/3/2024) siang, para petani menunjukkan perlawanan.

Tanda tendeng aling-aling, Pemprov Lampung pun dilaporkan ke Polda dengan dugaan tindak pidana pengerusakan secara bersama-sama sesuai dengan Pasal 406 jo 170 KUHP.

Laporan polisi para petani penggarap lahan area calon Kota Baru yang didampingi LBH Bandar Lampung ini yang terigistrasi dengan Nomor: STTPL/B/120/III/2024/SPKT/POLDA LAMPUNG.

Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jawardi, mengatakan, laporan tersebut didasari pada tindakan yang dilakukan oleh Pemprov Lampung melalui pejabat BPKAD yang telah menggusur lahan garapan petani seluas 2 hektare, yang sudah ditanami singkong dengan menggunakan traktor bajak.

“Dugaan motif penggusuran tanam tumbuh lahan yang digarap Tini, diduga karena ia merupakan aktor yang paling aktif dan vokal dalam memperjuangkan konflik lahan bersama warga di Desa Sindang Anom,” kata Sumaindra.

Ditambahkan, petani penggarap Kota Baru tidak semerta-merta menggarap di lahan tersebut. Karena mereka merupakan penggarap turun-temurun sejak tahun 1950-an.

Masih kata Sumaindra, penggarap yang mayoritas berasal dari tiga desa sekitar Kota Baru sudah melakukan penggarapan sejak tanah tersebut masih berstatus kawasan hutan Register 40 Gedong Wani.

Belakangan tanah itu ditukarguling (ruilslag) oleh Pemprov Lampung era Gubernur Sjachroedin ZP, yang dimohonkan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Lahan tersebut kemudian ditetapkan sebagai wilayah yang akan dibangun ibukota baru dari Provinsi Lampung sejak tahun 2011 lalu.

“Akibat proyek tersebut mangkrak, lahannya disewakan Rp 3 juta per hektar per tahun,” tambah Ketua LBH Bandar Lampung itu.

Dilain pihak, Kabid Pengelolaan Aset BPKAD Lampung, Meidiyandra Eka Putra, mengaku, pihaknya bukan menggusur, melainkan melakukan penertiban lahan milik pemprov yang masih diduduki petani. (Harun Al Rasyid)

Komentar