BELAKANGAN ini di Provinsi Lampung mulai ramai orang membicarakan “kotak kosong, menjelang Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Tentu kotak kosong yang dimaksud dalam kontestasi politik bukan bermakna harfiah, sebuah kotak yang tidak berisi apapun.
Istilah kotak kosong disematkan kepada calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang melawan kotak kosong dalam kertas suara. Satu kolom berisi foto, nomor urut, dan nama pasangan calon kepala daerah (Cakada). Sedangkan kolom lain tidak bergambar, alias kosong. Masyarakat berhak memilih salah satu diantaranya dengan cara mencoblos.
Hal ini bisa terjadi jika hanya ada 1 pasangan calon yang berlaga. Karena Partai politik seluruhnya atau sebagian besar memberikan rekomendasi kepada satu pasangan Cakada. Sedangkan sisa partai politik lainnya tidak mencukupi kuota kursi yang disyaratkan, atau sebesar 20 persen kursi di DPRD.
Sejumlah daerah di Provinsi Lampung seperti Lampung Tengah, Lampung Timur, Pesawaran, dan Lampung Barat, digadang-dagangkan akan diikuti satu pasangan calon kepala daerah tunggal.
Untuk menjadi pasangan calon tunggal tentu tidak mudah, karena membutuhkan kerja ekstra keras untuk “memborong” partai politik. Selain lobi-lobi yang mumpuni di tingkat elit partai politik, juga membutuhkan suplay logistik yang tidak sedikit.
Tiap-tiap partai politik pasti membuat persyaratan untuk memberikan “tiket” kepada calon tertentu. Bahkan kemungkinan besar, keputusan politik sebuah partai politik akan mengorbankan kader partai tersebut yang berniat maju dalam Pilkada.
Lantas bagaimana aturannya mainnya? Apakah bisa dipastikan Cakada tersebut akan melenggang terpilih sebagai Kepala daerah dan wakil kepala daerah? Ternyata tidak sesederhana itu. Karena ada sejumlah aturan dan persyaratan untuk memenangkan Pilkada.
Dalam UU Pilkada Pasal 54 D (1) menyebutkan, calon tunggal dinyatakan sebagai pemenang Pilkada jika mendapatkan suara 50 persen plus satu dari suara sah. Jika tidak mencapai 50 persen suara sah maka pasangan calon dinyatakan kalah.
Kelanjutan paslon yang kalah suara oleh kotak kosong diatur lebih lanjut dalam UU Pilkada Pasal 54 D ayat (2) yang menyatakan, jika pasangan calon tunggal kurang dari sebagaimana yang dimaksud ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam pemilihan mencalonkan lagi dalam pemiliihan berikutnya.
Sedangkan jadual pemilihan berikutnya diatir lebih lanjut dalam Pasal 54 D ayat (3) yang menyebutkan, “Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud ayat (2), dilaksanakan lagi pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai jadwal yang dimuat dalam Peraturan Perudang-Undangan”.
Lalu siapa yang akan memimpin daerah tersebut? Pemerintah akan menunjuk Pj Gubernur, bupati, walikota sampai terpilih kepala daerah definitif hasil Pilkada. Demikian disebutkan dalam Pasal 54D ayat (4) UU Pilkada.
Ternyata menjadi pasangan Cakada tunggal tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena bagaimanapun tetap harus berjuang meraup suara rakyat lebih dari 50 persen dari suara sah. Sedangkan tidak larangan mengkampanyekan untuk mencoblos kotak kosong. Artinya tetap ada peluang pasangan calon tunggal kalah dalam Pilkada.
Fenomena kotak kosong memenangkan Pilkada pernah terjadi dalam pemilihan Calon Walikota dan Wakil Walikota Makasar, Provinsi Sulawesi Selatan, pada Tahun 2018 lalu. Saat itu pasangan Cakada Munafri Arifuddin – Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) kalah suara melawan kotak kosong.
Pasangan Appi-Cicu meraup sebanyak 264.245 suara, sedangkan kotak kosong meraup 300.795 suara. Terdapat selisih suara sebanyak 36.550 yang dimenangkan kotak kosong.
Fenomena “kotak kosong” terbukti tidak bisa diremehkan. Sebab peluang untuk kalah masih tetap masih ada. Jika kotak kosong dicoblos lebih banyak dari pasangan Cakada tunggal.
Kekalahan pasangan Cakada tunggal akan memberikan pukulan telak kepada Pasangan calon tersebut. Selain sudah menghabiskan amunisi untuk memborong partai politik, juga akan menjadi catatan sejarah, karena sangat memalukan jika harus kalah melawan sebuah kotak kosong.
Komentar