Diduga Tidak Kantongi Izin Galian Tambang Pasir Terus Berlangsung

Realita Lampung (Lampung Tengah) – Kegiatan penggalian tanah dan pasir di Kecamatan Sendang Agung, Kabupaten Lampung Tengah diduga tidak mengantongi izin. Kendati berada di wilayah Kabupaten Lampung Tengah, soal perizinan pertambangan Galian C merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi Lampung.

Suasana di sudut Kampung Sendang Retno, Kecamatan Sendang Agung, Selasa (21/04/2021) lalu tampak tidak biasa. Dari kejauhan terlihat 2 unit excavator sedang mengeruk tanah yang kemudian diletakkan ke dalam bak sebuah dump truk. Tidak jauh dari excavator tersebut ada 4 unit mobil dump truk tanpa muatan yang terparkir sembarang.

Kepala Kampung Sendang Retno M. Yusuf : “Mereka itu bukan penambang, tapi penggali liar”.

Setelah mendekat ke lokasi, didapati sebuah hamparan bekas sawah yang tanahnya sudah dikeruk. Terpampang sebuah galian sedalam 6 meter dengan luas kira-kira seperampat hektare. Setelah wartawan berkeliling, ternyata galian yang serupa ada 3 titik dengan luas dan kedalaman yang beragam. Terlihat juga beberapa orang sedang menyedot pasir menggunakan mesin disebuah aliran sungai yang tidak begitu lebar. Dilokasi yang tidak jauh ada juga sekelompok orang beraktifitas yang sama.

Sejurus kemudian, wartawan menghampiri seorang pria berkulit sawo matang yang sedang mengamati seorang pekerja yang sedang memperbaiki mesin penyedot pasir. Pria itu bernama Sutondo (45), warga Kampung Sendang Mukti, Kecamatan Sendang Agung. Setelah sedikit berbasi basi, dia mengakui sebagai pemilik excavator tersebut.

TIDAK BERIZIN
“Kami baru kerja sebulan ini,” ujar Sutondo, menjawab pertanyaan wartawan berapa lama aktifitas penggalian ditempat tersebut. Sutondo mengakui, aktifitas penggalian ditempat tersebut tidak berizin. Selama ini dia melakukan penggalian tanah mengundang pro dan kontra. Pernah ada larangan untuk menggali tanah di Kampung tersebut, tapi setelah melalui berbagai upaya mediasi akhirnya penggalian kembali dilakukan.

Dia mengungkapkan, penggalian yang dilakukan ini tidak mengantongi izin dari pihak manapun. Tetapi secara lisan, dia sudah meminta izin kepada Kepala Kampung Sendang Retno dan Kepolisian Sektor Sendang Agung, dan Koramil setempat. “ Semua pihak tahu kami menggali disini,” tandasnya.

Sutondo mengatakan, saya mempersilahkan jika penggalian kami ini ditutup. Tapi saya mohon agar ada solusi bagi pekerja yang menggantungkan hidup dari sini. Terdapat puluhan orang yang cari makan dari sini. Dan pertimbangkan juga, bagaimana kelanjutan usaha industri batu bata yang bahan bakunya dari penggalian ini.

Terkait soal izin penggalian, Sutondo mengatakan pernah mencoba mengurus ke instansi yang berwenang. Dia berharap pemerintah Provinsi Lampung dalam hal ini Dinas Pertambangan dan Energi membantu memfasilitasi agar proses perizinan berjalan lancar.

“Terus terang saya ingin punya izin resmi. Tapi banyak syarat-syarat administratif yang harus dipenuhi, dan kadang berbelit-belit” keluhnya.

BAHAN PEMBUATAN BATU BATA
Dikatakan Sutondo, tanah yang kami gali ini adalah tanah liat yang cocok untuk bahan baku batu bata. Orang yang memesan tanah dari kami tidak hanya warga desa sini saja. Hampir semua warga yang usahanya membuat batu bata di kecamatan Sendang Agung, Kecamatan Kali Rejo, Kecamatan Bangun Rejo, bahan baku tanahnya diambil dari penggali seperti kami ini.

“Bahkan sampai Pringsewu, Bandar Lampung, Mesuji, dan Palembang ada yang memesan tanah dari tempat kami ini,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, pihak yang melakukan penggalian serupa tidak hanya dirinya saja. Dia menyebut nama Wanto yang bermain di bisnis tersebut. “Bahkan dia punya excavator lebih banyak dari saya,” ungkap Sutondo.

SELALU PINDAH TEMPAT
Aktifitas penggalian menurut Sutondo selalu berpindah tempat. Dalam satu lokasi paling hanya memakan waktu 3-4 bulan. Status lahan yang digali adalah milik masyarakat setempat. Dia membeli material tanah dengan nilai tertentu. Kebanyakan lahan berupa sawah tadah hujan atau kebun sawit yang tidak produktif.

“Itu lahan tadinya kebun kelapa sawit, tapi udah lama gak berbuah lagi” ujarnya sembari menunjuk hamparan lahan yang sekarang menjadi kubangan yang cukup dalam.

Ketika disinggung tanah bekas galiannya tidak bisa dimanfaatkan kembali Sutondo menyanggah. Dia berdalih, setelah material tanah sudah tidak memungkinkan untuk digali, lahan tersebut diratakan dan dicetak menjadi sawah bertingkat atau terasering.

“Kalau saya sudah selesai gali bukan ditinggalin gitu saja. Tapi saya buat lahan itu jadi sawah dan bisa ditanam lagi sama pemiliknya,” jelas Sutondo. Dia menambahkan, penggalian pindah di lokasi berbeda, setelah ada kesepakatan dengan pemilik lahan.

PENGGALI LIAR
Kepala Kampung Sendang Retno M. Yusuf saat ditemui wartawan dikediamannya Selasa (20/04/2021) mengakui tahu aktifitas penggalian yang dilakukan Sutondo dan Wanto. Sutondo memang pernah memberitahu aktifitas penggalian tersebut secara lisan. Tetapi sebagai Kepala Kampung dia tidak pernah memberikan izin.

M. Yusuf menolak menyebut kegiatan Sutodo dan Wanto sebagai aktifitas pertambangan. Karena mereka tidak mengantongi izin resmi usaha pertambangan Galian C.

“Kalau kata saya mereka itu bukan pengusaha tambang. Tetapi penggali liar, dan pelakunya itu-itu saja,” ujarnya. M. Yusuf menduga ada pihak-pihak yang bermain dibelakang mereka, yang melindungi kegiatan penggalian liar itu.

BUAH SIMALAKAMA
Kegiatan penggalian liar dikatakan M. Yusuf berdampak ganda. Dampak negatifnya adalah kerusakan ekosistem akibat bekas galian yang berupa kubangan cukup dalam. Selain itu lalu lintas mobil dump truk pengangkut tanah mengakibatkan kerusakan jalan kampung setempat.

Menurut M. Yusuf, dia pernah meminta kepada para penggali liar untuk memperbaiki jalan kampung yang rusak akibat dilalui kendaraan dump truk yang mengangkut tanah dan pasir. “Setidaknya mereka harus tanggungjawab jalan jadi rusak karena beban mobil melebihi kemampuan jalan,” tandasnya.

Tetapi dilain sisi, tanah yang mereka gali menjadi sumber utama bahan baku pembuatan batu bata. Masyarakat di Kampung Sendang Rento banyak yang memiliki usaha pembuatan batu bata. Termasuk warga kampung sekitar seperti Sendang Mukti, Sendang Asri, Sendang Asih, Sendang Agung, kebutuhan bahan baku batu bata berasal dari penggali liar tersebut.

“Memang dilema. Kalau ditutup kegiatan penggalian liar itu warga saya sulit mendapat bahan baku untuk membuat batu bata. Yang ada nanti bisa menimbulkan kegaduhan. Sebab banyak warga saya usaha buat batu bata,” ujar M. Yusuf.

PERLU KETEGASAN PEMPROV LAMPUNG
Di tempat terpisah, Ketua LSM Gerakan Masyarakat Cinta Tanah Air (GMCTA) Kabupaten Lampung Tengah Ahmat Basuri mengakui sudah lama mengetahui kegiatan penambangan liar di Kecamatan Sendang Agung. Dia menyayangkan, Pemerintah Provinsi Lampung terkesan tidak mempunyai sikap yang tegas.

Menurut Basuri, para penggali liar perlu dilakukan pembinaan. Jika memang memungkinkan mereka diberikan izin resmi. Sebaliknya jika tidak memenuhi syarat formil untuk melakukan aktifitas pertambangan Galian C, seharusnya kegiatan tersebut dihentikan.

“Jangan dengan bahasa melarang, tapi malah membiarkan terjadi terus menerus,” tegas Basuri, di Kantor Sekretariat LSM GMCTA, Kelurahan Bandar Jaya Timur, Kamis (22/04/2021).

Kegiatan penggalian liar, lanjut Basuri, berdampak kepada kerusakan ekosistem jika lakukan dengan masif dan dalam jangka waktu lama. Bekas galian berubah menjadi kubangan seperti danau. Akibatnya tidak bisa diolah menjadi lahan pertanian.

Basuri tidak menampik, bahwa ada dampak perekonomian akibat kegiatan penggalian liar tersebut. Masyarakat sekitar yang memiliki usaha pembuatan batu batu mendapat pasokan bahan baku dari mereka. “Ini menjadi simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan satu sama lain,” ujar Basuri mengutip istilah ilmu biologi.

TIDAK BERKONTRIBUSI PAD
Dia menuturkan, aktifitas penambangan liar pernah terjadi di Kecamatan Pasir Sakti, Kabupaten Lampung Timur. Karena memiliki cadangan pasir yang melipah, masyarakat berbondong-bondong melakukan penggalian dengan masif. Banyak warga setempat mencari nafkah dari penggalian liar.

Akibatnya terjadi kerusakan ekosistem yang serius. Bekas galian pasir tidak bisa diperbarui karena menjadi lubang yang menyerupai danau. Sementara para penggali liar tidak memberikan kontribusi kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Lampung Timur. Akhirnya setelah Komisi III DPRD Lampung Timur bereaksi, kegiatan penggalian liar dihentikan oleh pihak Kepolisian Resort Lampung Timur.

Ketika itu pertambangan Galian C masih menjadi kewenangan pemerintah kabupaten. Sekarang sudah menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Lampung. “Kalau dibiarkan terus menerus ekosistem terancam, dan para penggali tersebut tidak memberikan kontribusi untuk PAD Provinsi Lampung,” pungkas Basuri di akhir wawancara.

Belajar dari ketegasan Pemkab Lampung Timur menghentikan penggalian liar, sudah sepatutnya Pemkab Provinsi Lampung bisa melakukan hal serupa. Opsi lainya, Pemerintah Provinsi Lampung bisa saja membina penggali liar itu agar bisa mengantongi izin resmi Galian C. Jangan melarang melakukan penggalian liar, tapi tetap membiarkan kegiatan ilegal itu terus berlangsung. (Willy Dirgantara)

Komentar